Tag Archives: keluarga imran

Keluarga Teladan dalam Al Quran

Materi ini dulu kusampaikan pada pengajian dalam rangka Ultah Bu Sardju, tetangga sekaligus ibu dari sahabatku. Tempatnya di sebuah Wisma di Kaliurang, Jogja.

Awalnya aku ditelpon oleh bu Sardju sendiri, beliau meminta aku untuk mengisi pengajian  keluarga besarnya dari pelbagai kota. Sambil senyum-senyum aku menanyakan “Apa tidak salah Bu, kok saya yang mengisi? Saya kan anak muda, masak memberi kajian pada beliau-beliau yang sudah Haji.” Bu Sardju menjawab tidak apa-apa, ini forum keluarga saja kok. Temanya tentang keluarga. Akhirnya ku iyakan saja, itung-itung silaturahmi.

Hmmm, tema keluarga…. audience nya bervariasi dari anak kecil, remaja, keluarga muda dan bapak-ibu senior. Apa ya? Alhamdulillah ide ini muncul, “Keluarga yang diabadikan Al Quran”. Langsung aku browsing. Dapatnya materi ini :

Keluarga merupakan kelompok terkecil dalam sebuah tatanan masyarakat. Oleh karena masyarakat adalah himpunan dari beberapa keluarga maka baik buruknya sebuah masyarakat sangat bergantung kepada baik buruknya keluarga. Keluarga yang baik adalah awal dari masyarakat yang sejahtera. Sebaliknya, keluarga yang amburadul adalah pertanda hancurnya sebuah masyarakat.

Dalam Al-Qur’an banyak terdapat potret keluarga sepanjang zaman. Ada potret keluarga saleh dan ada juga potret keluarga celaka. Potret-potret keluarga tersebut meskipun terjadi pada masa dan lingkungan yang berbeda dengan masa saat ini, akan tetapi ia tetap mengandung banyak hikmah dan pelajaran berharga yang senantiasa kekal sepanjang zaman. Dalam tulisan sederhana ini, kita akan mengetengahkan beberapa potret keluarga teladan dalam Al-Qur’an untuk kemudian kita petik hikmah dan pelajaran-pelajaran berharganya.

Pertama: Keluarga Imran
Satu-satunya surat dalam Al-Qur’an yang diberi nama dengan nama sebuah keluarga adalah surat Ali Imran (keluarga Imran). Tentunya bukan sebuah kebetulan nama keluarga ini dipilih menjadi salah satu nama surat terpanjang dalam Al-Qur’an. Di samping untuk menekankan pentingnya pembinaan keluarga, pemilihan nama ini juga mengandung banyak pelajaran yang dapat dipetik dari potret keluarga Imran.

Satu hal yang unik adalah bahwa profil Imran sendiri -yang namanya diabadikan menjadi nama surat ini- tidak pernah disinggung sama sekali. Yang banyak dibicarakan justru adalah istri Imran (imra’atu Imran) dan puterinya; Maryam. Hal ini seolah mengajarkan kita bahwa keberhasilan seorang kepala rumah tangga dalam membawa anggota keluarganya menjadi individu-individu yang saleh dan salehah tidak serta merta akan menjadikan profilnya dikenal luas dan kesohor. Boleh jadi dirinya tidak dikenal orang -kecuali hanya sekedar nama- tetapi rumah tangga yang dipimpinnya telah menjadi sebuah rumah tangga yang sukses dan teladan banyak orang. Hikmah ini juga mengingatkan kita pentingnya mensucikan niat dalam setiap amal perbuatan untuk semata-mata mengharap ridha Allah swt., bukan ingin dikenal sebagai seorang kepala tangga yang sukses, ingin dipuji dan sebagainya.

Niat sangat menentukan kualitas dan kontinuitas amal yang dilakukan. Orang yang niatnya dalam beramal hanya untuk memperoleh sesuatu -baik berupa pujian, penghargaan, materi dan sebagainya- maka amalnya akan berhenti setelah ia merasa telah memperoleh apa yang ia angankan. Berbeda dengan orang yang beramal karena mengharap ridha Allah. Ia akan senantiasa beramal tanpa kenal lelah atau putus asa karena ia tidak tahu apakah ridha Allah yang ia harapkan itu sudah ia gapai atau belum.

QS Ali Imran:
35. (Ingatlah), ketika isteri ‘Imran berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
36. Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: “Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk.”
37. Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.
45. (Ingatlah), ketika Malaikat berkata: “Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat[195] (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah),
46. dan dia berbicara dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa dan dia adalah termasuk orang-orang yang saleh.”
47. Maryam berkata: “Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun.” Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): “Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: “Jadilah”, lalu jadilah dia. 48. Dan Allah akan mengajarkan kepadanya Al Kitab[196], Hikmah, Taurat dan Injil.

Dikisahkan bahwa Imran dan istrinya sudah berusia lanjut. Akan tetapi keduanya belum juga dikaruniai seorang anak. Maka istri Imran bernazar, seandainya ia dikaruniai Allah seorang anak ia akan serahkan anaknya itu untuk menjadi pelayan rumah Allah (Baitul Maqdis). Nazar itu ia ikrarkan karena ia sangat berharap agar anak yang akan dikaruniakan Allah itu adalah laki-laki sehingga bisa menjadi khadim (pelayan) yang baik di Baitul Maqdis. Ternyata anak yang dilahirkannya adalah perempuan. Istri Imran tidak dapat berbuat apa-apa. Allah swt. telah menakdirkan anaknya adalah perempuan dan ia tetap wajib melaksanakan nazarnya. Ia tidak mengetahui bahwa anak perempuan yang dilahirkannya itu bukanlah anak biasa. Karena ia yang kelak akan menjadi ibu dari seorang nabi dan rasul pilihan Allah. Setelah itu, anak perempuan -yang kemudian diberi nama Maryam- tersebut diasuh dan dididik oleh Zakaria yang juga seorang Nabi dan Rasul, serta masih terhitung kerabat dekat Imran. Kisah ini dapat dilihat pada surat Ali Imran ayat 35-37.

Ada beberapa pelajaran berharga yang dapat dipetik dari potret keluarga Imran ini:

Satu: Apa yang menjadi keinginan besar dari istri Imran adalah bagaimana anaknya kelak menjadi abdi Allah seutuhnya. Bahkan, sebelum anaknya lahir ia telah bernazar bahwa anaknya akan diserahkan untuk menjadi pelayan di rumah Allah.[1] Selayaknya, setiap orang tua muslim memiliki orientasi seperti halnya ibu Maryam ini. Ia tidak risau dengan nasib anaknya secara duniawi karena ia yakin bahwa setiap anak yang lahir sudah Allah jamin rezekinya. Apa yang menjadi buah pikirannya adalah bagaimana anaknya mendapatkan lingkungan yang baik untuk menjaga agama dan kehormatannya. Dengan orientasi seperti ini tidak mengherankan bila putrinya Maryam tumbuh menjadi seorang wanita yang paling suci di muka bumi. Lebih dari itu, ia dimuliakan oleh Allah dengan menjadi ibu dari seorang Nabi dan Rasul yang mulia; Isa bin Maryam melalui sebuah mukjizat yang luar biasa yaitu melahirkan anak tanpa seorang suami. Maka, orientasi orang tua tehadap anaknya adalah sesuatu yang sangat penting sebagaimana pentingnya membekali mereka dengan nilai-nilai keimanan sejak kecil.

Dua: Ketabahan dan kesabaran istri Imran dalam menerima takdir Allah swt. ketika anak yang dilahirkannya ternyata perempuan dan bukan laki-laki sebagaimana yang ia harapkan. Kesabaran dan sikap tawakal menerima keputusan Allah ini ternyata menyimpan rahasia yang agung bahwa kelak anak perempuan tersebut akan menjadi ibu seorang Nabi dan Rasul. Alangkah perlunya sikap ini diteladani oleh setiap keluarga muslim, terutama yang akan dikaruniai seorang anak. Boleh jadi apa yang Allah takdirkan berbeda dengan apa yang diharapkan. Namun yang akan berlaku tetaplah takdir Allah, suka atau tidak suka. Maka, kewajiban seorang muslim saat itu adalah menerima segala takdir Allah itu dengan lapang dada dan suka cita, karena Allah tidak akan menakdirkan sesuatu kecuali itulah yang terbaik bagi hamba-Nya.

Tiga: Maryam kecil akhirnya diasuh oleh Zakaria yang masih famili dekat dengan Imran. Tentu saja asuhan dan didikan Zakaria -yang juga seorang Nabi dan Rasul ini- sangat berdampak positif bagi pertumbuhan diri dan karakter Maryam, sehingga ia tumbuh menjadi seorang gadis yang suci dan terjaga harga dirinya. Dikisahkan bahwa ketika malaikat Jibril menemuinya dalam rupa seorang lelaki untuk memberi kabar gembira kepadanya tentang ia akan dikaruniai seorang putra, Maryam menjadi sangat takut melihat sosok lelaki asing yang tiba-tiba hadir di hadapannya. Hal itu tak lain karena ia memang tidak pernah bergaul dengan laki-laki manapun yang bukan mahramnya. Inilah sifat iffah (menjaga diri) yang didapat Maryam dari hasil didikan Zakaria. Untuk itu, setiap orang tua muslim selayaknya memilih lingkungan dan para pendidik yang baik bagi anak-anaknya, apalagi di usia-usia sekolah yang akan sangat menentukan pembentukan karakter dan pribadinya di masa-masa akan datang.

Seandainya orang tua keliru dalam memilih lingkungan dan sarana pendidikan bagi anak-anaknya, maka kelak akan timbul penyesalan ketika melihat anak-anaknya jauh dari tuntunan etika dan akhlak yang mulia.

Kedua: Keluarga Nabi Ibrahim as.

Barangkali dari sekian potret keluarga yang disinggung dalam Al-Qur’an, keluarga Nabi Ibrahimlah yang banyak mendapat sorotan. Bahkan dimulai sejak Ibrahim masih muda ketika ia dengan gagah berani menghancurkan berhala-berhala kaum musyrikin sampai ia dikaruniai anak di masa-masa senjanya. Keluarga Nabi Ibrahim as. termasuk keluarga pilihan di seluruh alam semesta. Sebagaimana disebutkan dalam surat Ali Imran ayat 33: “Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran di seluruh alam semesta.”

Akan tetapi, kita hanya akan mengambil beberapa episode saja dari rangkaian sejarah keluarga Nabi Ibrahim di dalam Al-Qur’an. Episode paling terkenal dari kisah Nabi Ibrahim adalah ketika Allah swt. mengaruniakan seorang putra kepadanya di saat usianya sudah sangat lanjut, sementara istrinya adalah seorang yang mandul. Namun Allah swt. Maha Kuasa untuk berbuat apa saja, sekalipun hal itu melanggar undang-undang alam (sunan kauniyah), karena toh alam itu sendiri Dia yang menciptakan.

Ibrahim yang sudah renta dan istrinya yang mandul akhirnya memperoleh seorang putra yang diberi nama Ismail. Penantian yang sekian lama membuat Ibrahim sangat mencintai anak semata wayangnya itu. Tapi, Allah swt. ingin menguji imannya melalui sebuah mimpi -yang bagi para nabi adalah wahyu-. Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih anaknya. Sebelum melaksanakan perintah itu, terjadi dialog yang sangat harmonis dan menyentuh hati antara anak dan bapak. Ternyata, sang anak dengan hati yang tegar siap menjalani semua kehendak Allah. Ia bersedia disembelih oleh ayahnya demi menjalankan perintah Allah swt. Ketegaran sang ayah untuk menyembelih sang anak dan kesabaran sang anak menjalani semua itu telah membuat mereka berhasil menempuh ujian yang maha berat tersebut. Allah swt. menebus Ismail dengan seekor domba, dan peristiwa bersejarah itu diabadikan dalam rangkaian ibadah korban pada hari Idul Adha. Kisah ini direkam dalam Al-Qur’an surat ash-Shaffaat ayat 100-107.

Ada beberapa pelajaran yang ingin kita petik dari penggalan kisah keluarga Nabi Ibrahim as. ini:

Satu: Dialog yang baik dan harmonis antara seorang ayah dan anaknya. Meskipun Ibrahim meyakini bahwa perintah menyembelih anaknya itu mesti dilaksanakan, akan tetapi Ibrahim tetap melakukan dialog bersama putranya untuk meminta pendapatnya. Inilah barangkali yang mulai hilang dari keluarga muslim saat ini.
Posisi anak dalam keluarga cenderung diabaikan dan dipandang sebelah mata. Anak seolah hanya berkewajiban untuk sekedar menuruti segala perintah orang tua tanpa memiliki hak bicara dan berpendapat sedikitpun. Akhirnya hubungan orang tua dengan anak ibarat hubungan atasan dengan bawahan. Hubungan seperti ini apabila dibiarkan terus berlanjut akan menghambat perkembangan karakter dan pribadi anak.
Anak cenderung menjadi penakut dan tidak percaya diri. Atau kepatuhan yang ditampilkannya pada orang tua yang bersikap seperti ini hanyalah kepatuhan yang semu, sementara di dalam jiwanya ia menyimpan sikap penentangan dan pembangkangan yang luar biasa. Ia hanya mampu memendam sikap penentangan itu tanpa mampu melampiaskannya. Sikap penentangan ini akan menjadi bom waktu dalam jiwa anak yang suatu saat akan meledak jika situasi dan kondisinya mendukung.

Agar semua ini tidak terjadi, perlu dibangun komunikasi dan dialog yang harmonis antara orang tua dan anak. Kebiasaan orang tua yang selalu meminta pendapat anaknya -khususnya yang berhubungan langsung dengan dirinya- akan memberikan rasa percaya diri yang besar dalam jiwa anak. Ia akan merasa keberadaannya dalam keluarga dihargai dan diperhatikan. Selanjutnya, perasaan ini akan menumbuhkan sikap kreatif dan proaktif dalam jiwa anak di tengah-tengah masyarakat.

Dua: Kesabaran Ismail dalam menjalankan perintah Allah untuk menyembelih dirinya. Adalah sesuatu yang teramat berat untuk menjalankan perintah seperti ini, apalagi dari seorang anak yang masih sangat belia. Tentu saja ini adalah hasil dari sebuah didikan yang luar biasa. Pendidikan yang mampu menumbuhkan sikap tawakal yang luar biasa dalam jiwa anak. Pendidikan yang membuat anak bersedia menjalankan apapun perintah Allah, sekalipun akan mengorbankan nyawanya. Namun hal itu tidaklah mustahil, karena dalam rentang sejarah Islam juga banyak anak-anak yang sangat dewasa dalam menjalankan perintah Allah. Diriwayatkan bahwa anak-anak para salafusshaleh sering berpesan kepada ayahnya sebelum ayahnya pergi mencari nafkah: “Ayah, carilah rezeki yang halal, karena sesungguhnya kami mampu bersabar dalam kelaparan tapi kami tidak akan mampu bertahan dalam siksa neraka.”[2] Tentunya sikap seperti ini hanya dapat dihasilkan melalui pendidikan yang serius sejak dini dengan menanamkan nilai-nilai keimanan dalam jiwa anak sedari kecil.

Tiga: Kesabaran dan ketabahan dalam menjalankan perintah Allah akan selalu mendatangkan hasil terbaik. Ketika Ibrahim dan Ismail bersikap sabar dan tabah dalam menjalankan perintah Allah, meskipun itu sangat berat, Allah swt. menerima pengorbanan mereka dan menjadikan keluarga mereka sebagai keluarga pilihan di alam semesta. Mereka telah lulus menjalani sebuah ujian yang sangat berat. Kesabaran dan ketabahan dalam menjalankan perintah Allah itu hanya dapat diperoleh dengan keimanan yang kuat dan keyakinan yang kokoh bahwa kehendak Allah adalah yang terbaik meskipun bertentangan dengan hawa nafsu manusiawi.

Empat: Cinta pada anak adalah ujian. Oleh karena itu Allah swt. berfirman bahwa anak-anak dan istri bisa menjadi musuh bagi seseorang jika semua itu akan melalaikannya dari mengingat Allah swt. (at-Taghaabun: 14). Bagaimanapun cintanya orang tua kepada anaknya, hal itu tidak boleh menyamai apalagi melebihi cinta mereka kepada Allah. Ketika istri, anak-anak dan keluarga lebih dicintai daripada Allah, saat itulah mereka akan berubah menjadi musuh di akhirat kelak. Bahkan cinta kepada anak-anak tidak boleh melebihi cinta kepada Rasulullah saw. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang diantara kamu sehingga aku lebih dicintainya dari anaknya, orang tuanya dan manusia seluruhnya.”[3]

Ketiga: Keluarga Luqman
QS Luqman:
12. Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
13. Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”
14. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun[1180]. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
15. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
16. (Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus[1181] lagi Maha Mengetahui
17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
18. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.

Ulama berbeda pendapat apakah Luqman seorang Nabi atau hanya seorang yang bijak bestari. Pendapat terkuat adalah bahwa Luqman bukanlah seorang Nabi melainkan seorang ahli hikmah (hakiim). Namanya diabadikan menjadi nama salah satu surat dalam Al-Qur’an. Sebagian besar ayat-ayat dalam surat Luqman bercerita tentang nasihat-nasihat Luqman kepada anaknya. Pelajaran berharga yang dapat kita ambil di sini adalah seyogyanya pendidikan dasar pertama yang diterima oleh anak adalah datang dari orang tuanya sendiri. Orang tualah yang paling bertanggung jawab untuk mendidik dan mengarahkan anaknya ke jalan yang baik.

Adapun sekolah hanyalah sebagai sarana pendukung dalam proses pendidikan anak secara formal. Jadi, selayaknya orang tua selalu memberikan nasehat-nasehat berharga kepada anak-anaknya sejak mereka masih kecil. Karena di masa-masa itu, ingatan mereka masih sangat kuat untuk merekam apa saja yang disampaikan kepada mereka. Dalam usia-usia tersebut, mereka ibarat kertas putih yang bisa ditulis dengan apa saja. Alangkah baiknya bila orang tua memanfaatkan masa-masa itu untuk membentuk karakter dan pribadi anak-anaknya dalam bingkai keimanan dan akhlak yang mulia.

Ada beberapa nasehat yang diberikan Luqman kepada anaknya seperti yang tercantum dalam surat Luqman ayat 13 – 19:

Satu: Jangan mempersekutukan Allah. Ini merupakan pelajaran aqidah yang paling mendasar yang mesti diberikan kepada anak sejak dini. Jika iman dan aqidah sudah tertanam dengan kuat dalam dirinya, niscaya ia akan tumbuh menjadi anak yang konsisten, penuh tanggung jawab dan tegar menghadapi segala cobaan hidup.

Dua: Berbakti pada kedua orang tua. Orang tua sebagai faktor lahirnya anak ke muka bumi adalah orang yang paling berhak untuk diberikan bakti oleh anak-anak. Begitu pentingnya berbakti kepada orang tua sampai-sampai dalam sebuah haditsnya Rasulullah saw. bersabda: “Keridhaan Allah terletak di atas keridhaan orang tua dan kemurkaan Allah terletak di atas kemurkaan orang tua.”

Tiga: Mendirikan shalat dan melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar. Pembiasaan ibadah kepada anak-anak sejak kecil sangat berguna untuk memberi kesadaran kepada mereka bahwa keberadaan mereka di dunia ini semata-mata hanyalah untuk mengabdi kepada Allah swt. Dengan demikian ia akan hidup dengan sebuah misi dan target yang jelas. Misinya adalah berubudiyah kepada Allah, sementara targetnya adalah mencapai ridha Allah.

Hal ini sekaligus juga akan menumbuhkan dalam diri anak keberanian memikul sebuah tugas dan tanggung jawab serta mampu bersikap disiplin. Sebab, semua jenis ibadah yang diajarkan oleh Islam mengajarkan kita untuk berani memikul amanah dan disiplin dalam menjalankannya. Di samping itu, yang dituntut dalam melaksanakan sebuah ibadah bukan sekedar lepas kewajiban, melainkan yang terpenting adalah pembentukan pribadi dan karakter yang baik yang tampak nyata dalam aktivitas sehari-hari sebagai buah yang positif dari rutinitas ibadah yang dikerjakan.

Empat: Jangan berlaku sombong. Nasehat ini sangat berharga bagi anak-anak sebagai bekal dalam pergaulan di tengah-tengah masyarakat. Jika ia ingin diterima oleh masyarakat, ia mesti menjauhi segala pantangan pergaulan dalam masyarakat. Karena, jika ia bersikap sombong maka secara tidak langsung sesungguhnya ia telah merendahkan orang lain. Dan siapapun orangnya sudah pasti memiliki harga diri dan tidak akan rela bila dipandang enteng dan diremehkan. Maka, modal utama pergaulan dalam masyarakat adalah sikap tawadhu’ (rendah hati) dan tidak menganggap diri lebih dari orang lain.

Keempat: Keluarga Nabi Ya’qub as.

Nabi Ya’qub adalah putra Nabi Ishak dan cucu Nabi Ibrahim. Ia mempunyai putra yang juga seorang Nabi yaitu Yusuf as., sehingga Nabi Yusuf digelari dengan al-Karim ibnu al-Karim ibnu al-Karim (orang yang mulia putra dari orang yang mulia dan cucu dari orang yang mulia).

Kisah Nabi Ya’qub as. bersama anak-anaknya dimuat dalam surat Yusuf secara sempurna. Kisah tersebut dijuluki oleh Allah sebagai ahsanul qashash (kisah terbaik). Di samping jalan ceritanya yang menarik, kisah ini juga mengandung hikmah dan pelajaran yang sangat berharga. Kisah keluarga Ya’qub ini diawali dengan mimpi yang dialami oleh Yusuf kecil. Ia melihat sebelas bintang, matahari dan bulan sujud kepadanya. Yusuf menceritakan mimpinya itu kepada ayahnya. Nabi Ya’qub mengetahui bahwa anaknya ini kelak akan menjadi orang besar dan terpandang. Oleh karena itu, Nabi Ya’qub meminta anaknya untuk merahasiakan mimpinya itu dari saudara-saudaranya yang lain.

Sejak saat itu, kasih sayang dan perhatian Nabi Ya’qub kepada anaknya Yusuf semakin bertambah. Hal itu kemudian membuat anak-anak Nabi Ya’qub lainnya merasa iri pada Yusuf. Akhirnya, setelah mengelabui sang ayah, mereka melemparkan Yusuf ke dalam sumur tua. Mereka pulang dengan membawa baju Yusuf yang telah dilumuri darah kambing, lalu mengadukan pada ayah mereka bahwa Yusuf telah dimakan serigala.

Yusuf kemudian dipungut oleh kafilah dagang yang sedang menuju negeri Mesir. Yusuf dijual sebagai seorang budak. Ia dibeli oleh seorang pejabat istana kerajaan Mesir. Setelah melalui berbagai cobaan (seperti digoda oleh istri tuannya yang membuatnya dijebloskan ke penjara karena menolak rayuan maut itu) Yusuf akhirnya menjadi tokoh berpengaruh di Mesir. Ia mendapatkan posisi penting dalam mendistribusikan kebutuhan pokok pada segenap warga selama musim paceklik melanda. Ternyata paceklik juga menimpa keluarga Nabi Ya’qub. Nabi Ya’qub menyuruh anak-anaknya meminta bantuan kepada penguasa Mesir yang sesungguhnya adalah putranya sendiri. Akhirnya setelah beberapa kali pertemuan, Nabi Yusuf baru memberitahukan kepada saudara-saudaranya yang datang meminta bantuan pangan itu bahwa dialah Yusuf yang dulu mereka lemparkan ke dalam sumur tua. Tak berapa lama setelah itu, Nabi Ya’qub berjumpa kembali dengan putranya tercinta dan keluarga Nabi Ya’qub diboyong ke Mesir untuk hidup bersama Nabi Yusuf yang telah menjadi seorang pembesar dan tokoh berpengaruh di negeri itu.

Ada beberapa pelajaran yang ingin kita petik dari kisah keluarga Nabi Ya’qub ini:

Satu: Adalah sesuatu yang lumrah dan manusiawi bila hati seorang ayah atau ibu lebih condong kepada salah seorang anaknya dibanding yang lain. Rasa sayang yang lebih itu bisa jadi karena anak tersebut lebih patuh, lebih cerdas, lebih santun dan sebagainya. Hal itu tidak menjadi dosa bagi orang tua. Karena Al-Qur’an sendiri mengakui bahwa tidak seorangpun yang mampu berbuat adil secara sempurna (an-Nisa’: 129). Yang dituntut oleh Islam dari orang tua adalah adil secara lahir. Artinya, meskipun secara batin dan di dalam hatinya ia lebih menyukai dan menyayangi salah seorang di antara anak-anaknya, akan tetapi dalam hal-hal yang tampak nyata ia wajib berlaku adil, seperti dalam mendidik, memberi nafkah, mencukupi segala kebutuhannya dan lain sebagainya. Orang tua akan berdosa seandainya rasa sayangnya yang berlebih pada beberapa orang anaknya membuatnya membeda-bedakan mereka dalam hak-hak secara lahir seperti pendidikan yang layak, uang belanja yang cukup, melengkapi kebutuhan sehati-hari dan sebagainya. Pada intinya, orang tua harus pandai dan bijak dalam membagi perhatiannya terhadap anak-anaknya sehingga tidak menimbulkan kecemburuan yang negatif dalam hati sebagian mereka.

Dua: Rasa cemburu yang berlebihan dan tak dapat dikendalikan bisa menjadi faktor yang sangat berbahaya dalam menghancurkan sebuah keluarga. Rasa cemburu ini dapat menghinggapi siapa saja. Suami cemburu pada istri atau sebaliknya, kakak cemburu pada adik atau sebaliknya dan seterusnya. Seorang yang merasa cemburu cenderung akan berusaha melampiaskan perasaannya dengan berbagai cara meskipun akan membahayakan jiwa saudaranya sendiri. Dalam kisah keluarga Nabi Ya’qub di atas, rasa cemburu telah menjerumuskan saudara-saudara Yusuf ke dalam lingkaran dosa yang panjang; mereka tega mencelakakan saudara sendiri, melanggar janji mereka semula untuk menjaga Nabi Yusuf, berbohong kepada ayah mereka dengan mengatakan bahwa Yusuf diterkam serigala dan seterusnya. Seorang ayah mesti menyikapi perasaan cemburu diantara anak-anaknya dengan baik dan penuh bijaksana. Sikap yang dipilih oleh Nabi Ya’qub menghadapi anak-anaknya yang dihinggapi perasaan cemburu yang berlebihan itu adalah bersabar. Beliau hanya mengatakan: fashabrun jamiil (maka sabarlah yang lebih baik). Seandainya Nabi Ya’qub mengusir anak-anaknya yang telah menyia-nyiakan putra kesayangannya, tentu hal itu bukan sebuah solusi bijak dalam mendidik mereka, karena akhirnya mereka akan semakin lari atau bahkan membenci ayah mereka sendiri.

Kelima: Keluarga Nabi Daud as.
Awalnya, Nabi Daud adalah salah seorang tentara dalam pasukan yang dipimpin oleh Thalut. Karena keberhasilan Daud membunuh Jalut (al-Baqarah: 251) bintangnya mulai berkibar dan akhirnya ia menjadi seorang raja besar Bani Israil. Putranya, Sulaiman juga seorang Nabi dan Rasul yang kelak mewarisi kekuasaan ayahnya. Jadi, bisa dibilang keluarga Nabi Daud adalah potret keluarga elit kekuasaan yang taat kepada Allah. Nabi Daud selalu menyuruh keluarganya untuk senantiasa mengerjakan shalat dan berzikir. Dikisahkan bahwa Nabi Daud memiliki waktu-waktu tertentu dimana ia bermunajat dan berzikir kepada Allah di mihrabnya. Di saat seperti itu, tak seorangpun yang boleh dan berani mengganggu beliau. Ternyata kekuasaan besar yang diberikan kepadanya sama sekali tidak menghalanginya untuk mengkhususkan sebagian waktunya tenggelam dalam lautan zikir kepada Allah.

Selain nuansa ibadah dan zikir, keluarga Nabi Daud juga kental dengan nuansa ilmu pengetahuan. Sudah jamak diketahui bahwa Nabi Daud adalah manusia pertama yang mampu mengolah besi dengan tangannya untuk berbagai keperluan terutama persenjataan perang. Di samping itu, Nabi Daud juga dikenal sebagai seorang raja yang adil dan bijaksana yang mampu memecahkan berbagai permasalahan yang paling rumit sekalipun dengan baik. Tentunya semua itu membutuhkan kecerdasan dan ilmu pengetahuan. Sifat ini kemudian diwarisi oleh putranya, yaitu Nabi Sulaiman. Bahkan dalam beberapa kasus, Allah swt. memberikan pemahaman yang lebih kepada Nabi Sulaiman, sehingga berkat ilmu dan kecerdasannya kasus-kasus tersebut dapat diselesaikan dengan penuh keadilan. Jadi, sebelum mereka berkuasa dengan kekuatan fisik dan senjata, mereka telah berkuasa lebih dahulu dengan kekuatan ilmu dan kecerdasan.

Keenam: Keluarga Nabi Syu’aib as. Bersama Kedua Puterinya

Setelah lari dari Mesir untuk menghindari pengejaran tentara Fir’aun, Nabi Musa as. tiba di sebuah negeri yang bernama Madyan. Di sana ia melihat kerumunan manusia yang sedang berdesak-desakan untuk mengambil air dari sebuah sumur. Tak jauh dari kerumunan itu tampak dua orang gadis sedang berdiri menunggu hingga kerumunan itu bubar. Musa mendekati kedua gadis tersebut dan bertanya, “Kenapa dengan kalian?” Keduanya menjawab, “Kami tidak bisa mengambil air sampai mereka semua selesai, sementara ayah kami sudah sangat tua”. Tanpa pikir panjang lagi, Nabi Musa segera membantu kedua orang gadis itu untuk mengambil air.

Tidak berapa lama setelah itu, Nabi Musa diundang untuk datang oleh ayah kedua gadis itu yang tak lain adalah Nabi Syu’aib as.[4] Dalam surat al-Qashash ayat 25 disebutkan bahwa salah seorang dari kedua gadis yang disuruh oleh ayahnya untuk mengundang Nabi Musa itu datang sambil malu-malu. Ia tidak termasuk tipe gadis salfa’ (gadis yang terlalu berani pada laki-laki). Rasa malu gadis itu dibalas oleh Nabi Musa dengan penuh bijak dan berwibawa ketika ia meminta gadis itu untuk berjalan di belakangnya untuk menjaga pandangan dan bisikan hati dari hal-hal yang dihembuskan oleh setan dan hawa nafsu. Muru’ah (harga diri) seorang laki-laki muslimlah yang telah mendorong Nabi Musa untuk menjaga hati dan juga ‘iffah (kesucian diri) gadis itu.

Ternyata ayah sang gadis bermaksud menawarkan Nabi Musa untuk menikahi salah seorang puterinya. Tawaran itu pun dibalas oleh Nabi Musa dengan penuh mulia yaitu pengabdian selama lebih kurang delapan tahun sebagai mahar dari pernikahan tersebut.

Dari petikan kisah ini ada beberapa pelajaran berharga yang dapat kita ambil:

Pertama: Nabi Syu’aib as. telah mengambil sebuah keputusan yang penuh bijaksana dan berani ketika ia ingin menikahkan salah seorang puterinya dengan seorang pemuda asing yang tidak memiliki apa-apa selain agama. Inilah faktor utama yang mendorong bagi Nabi Syu’aib untuk mengambil Nabi Musa sebagai menantu. Faktor ini pulalah yang seharusnya menjadi pertimbangan utama bagi setiap orang tua muslim dalam mencarikan jodoh untuk anaknya. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Apabila datang kepadamu pemuda yang kamu sukai agamanya maka nikahkanlah ia (dengan puterimu), karena kalau tidak akan timbullah fitnah”. Ketika orang tua tidak lagi memperdulikan faktor agama, tapi lebih melihat kepada status sosial maka saat itu akan timbullah bencana dan malapetaka. Hubungan suami istri adalah hubungan sakral yang akan terjalin untuk selama-lamanya. Seandainya orang tua tidak pandai-pandai memilih calon pasangan untuk anak-anaknya maka sulit untuk mengharapkan mereka akan memperoleh kehidupan yang bahagia, damai dan harmonis dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

Faktor lain yang juga menjadi pertimbangan bagi Nabi Syu’aib untuk menikahkan puterinya dengan Nabi Musa adalah bahwa ternyata Nabi Musa adalah seorang pekerja keras dan penuh tanggung jawab. Hal ini tampak dari bantuan yang diberikannya pada kedua gadis puteri Nabi Syu’aib itu dalam mengambil air dan juga mahar yang diberikannya dalam bentuk pengabdian kerja pada Nabi Syu’aib selama delapan tahun. Maka, ibadah ritual yang rajin tentu saja tidak cukup bila tidak diikuti okeh aplikasi nyata tehadap nilai-nilai agung yang terkandung dalam ibadah itu sendiri.

Kedua: Bukanlah sebuah aib ketika orang tua menawarkan puterinya kepada seorang pemuda yang ia kagumi pribadi dan agamanya. Bahkan itu sudah menjadi hal yang lumrah di masa Rasulullah saw. dan salafusshaleh. Diriwayatkan bahwa Umar r.a. menawarkan puterinya, Hafshah kepada Abu Bakar, tapi Abu Bakar tidak memberikan jawaban. Kemudian Umar menawarkannya kepada Utsman, tetapi Utsman mohon maaf tidak bisa menerima tawaran tersebut. Umar sempat merasa kurang enak memperoleh reaksi yang demikian dari kedua sahabatnya tersebut. Ternyata di balik usaha Umar untuk mencarikan suami yang saleh bagi puterinya, Allah swt. telah menakdirkan seorang suami terbaik dan paling ideal untuk putrinya yaitu Rasulullah saw.[5]

Di masa itu bahkan ada seorang wanita yang dengan berani menawarkan dirinya untuk dinikahi oleh Rasulullah saw. Meskipun Rasulullah tidak jadi menikahinya tapi wanita itu telah mengajarkan makna kesucian diri yang sesungguhnya. Adalah lebih suci dan mulia ketika seorang wanita menawarkan dirinya kepada seorang yang saleh dan bertakwa untuk dinikahi dari pada menjalin hubungan yang tidak syar’i dengan seorang yang –sudah tentu- diragukan kualitas keagamaannya. Tak ada kata malu untuk menjalankan syariat Allah dan mencari ridha-Nya meskipun dalam pandangan manusia hal itu masih menjadi sesuatu yang tabu. Karena pada hakikatnya, baik atau buruknya sesuatu itu diukur dari kacamata syariat. Segala sesuatu yang diperintahkan dalam syariat adalah baik meskipun dalam pandangan manusia hal itu masih aneh dan janggal. Dan setiap yang dilarang syariat adalah buruk meskipun manusia sudah menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa. Hati nurani manusia sering ditutupi oleh nafsu dan syahwat sehingga ia sulit melihat cahaya kebenaran dalam wujud yang sesungguhnya.

Ketiga: Didikan yang baik dari orang tua dapat menumbuhkan karakter yang baik dan kecerdasan pada diri anak. Hasil didikan Nabi Syu’aib terhadap puterinya tampak pada sifat malu dalam diri sang puteri saat ia disuruh ayahnya untuk mengundang Nabi Musa. Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa ketika pergi memanggil Nabi Musa ia mengenakan cadar untuk menutupi wajah dan menjaga ‘iffahnya. Di samping pemalu, puteri Nabi Syu’aib juga seorang yang cerdas. Terbukti dari saran yang disampaikannya kepada ayahnya untuk mengupah Nabi Musa as. Ia berkata: “Sesungguhnya orang terbaik yang ayah upah adalah laki-laki yang kuat dan dapat dipercaya.” Perkataan puteri Nabi Syu’aib ini mengajarkan kita bahwa kriteria utama yang mesti diperhatikan dalam memilih tenaga kerja dalam bidang apa saja adalah: al-qawiyy (punya kemampuan atau skill) dan al-amiin (dapat dipercaya).

Khatimah

Demikianlah sekelumit potret keluarga teladan dalam Al-Qur’an yang bisa penulis ketengahkan. Tentunya masih banyak mutiara-mutiara hikmah berharga dari potret keluarga yang bertaburan dalam Al-Qur’an yang dapat dijadikan pedoman oleh setiap keluarga muslim. Langkah awal yang paling baik untuk mewujudkan sebuah keluarga muslim ideal adalah dengan memahami kondisi psikologi, kelebihan dan kekurangan keluarga masing-masing. Pemahaman yang baik terhadap keadaan dan psikologi keluarga akan memudahkan kita untuk merancang langkah-langkah yang hendak ditempuh dalam mencapai keluarga muslim sejati. Jadikanlah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. sebagai pedoman dan sumber inspirasi utama. Karena tidak ada manhaj (konsep) hidup yang lebih sempurna selain yang telah digariskan oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Wallahua’lam bishshawab.*

Ali Imran : 30.
Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.
———————————
Disarikan dari buku Jurnal Al Insan Jilid 3
Penerbit : Kelompok Gema Insani