Tag Archives: Beasiswa UK

Kutipan

Menggenggam Istikharah antara Birmingham dan Jeddah (bagian 4 dari 4)

The United Kingdom Dreams dan Secarik E-Mail dari another Kingdom

      Masih ada satu kali lagi IELTS official test dalam rangkaian PKBI di Malang. Namun skor 7,5 telah merubah semua konstelasi cara berpikirku. Dalam benakku sekarang yang ada adalah Inggris dan Inggris, khususnya University of Birmingham, College of Social Science,  di bagian PhD The School of Education. Wah, gagah sekali kelihatannya. Lupa sudah aku dengan masa lalu kelam sulitnya beroleh skor 6,5. Maka, sisa waktuku di PKBI UM Malang kuisi dengan persiapan untuk menembus gerbang PhD ke negeri pemilik Liga Sepakbola Premiere League tersebut.

     Segala daya dan upaya kufokuskan untuk menemukan sebanyak mungkin informasi dan bahan baku persiapan untuk studi ke UoB, mulai dari menghubungi kolega yang pernah lolos beasiswa ke Inggris, meminta prospektus dari UoB sendiri (Luar biasa, mereka kirimkan hardcopy dari booklet prospectus PhD langsung dari Inggris, gratiss…bagaimana makin tidak mantab jika sudah begini?), info cara menyusun proposal riset, dan mulai mencari calon Supervisor yang risetnya sesuai dengan interesku. Bisa dikatakan, selama sepekan pasca pengumuman hasil tes IELTS, hidupku hanya berisi ratusan halaman website tentang Inggris, PhD programme dan kota Birmingham. Membayangkan kota yang megah dengan bangunan-bangunan kastil dan gedung khas abad pertengahan, bis merah khas Inggris, daun Willow yang berguguran, anak-anakku studi di sekolah klasik yang berusia puluhan tahun, jalan-jalan keliling kampus yang mirip Hogwarts, foto-foto di Joe the Bot di Birmingham, dan betapa kerennya pamorku menjadi seorang mahasiswa PhD di Inggris. Namanya juga fall in love at first sight.   

      Seolah-olah keadaan sekelilingku-pun seperti mendukung niat besarku sekolah doktoral di kampus berbatubata merah itu. Dimulai dari ide untuk menyusun proposal bertopik Integration between Islamic and Religion in Science Education yang selama ini menjadi minatku selain dari teknologi pembelajaran, bertemu dengan teman diskusi yang berbobot di kelas C PKBI, adanya pelatihan penulisan proposal oleh salah satu profesor pengajar kami di kampus UM Malang ini, dan terbukanya pintu kemudahan untuk terhubung-kontak kembali dengan para kolega, baik alumni SMA 8 dulu atau kawan dari Forum Lingkar Pena Yogyakarta (keduanya adalah alumni universitas di Inggris). Setidaknya dalam satu bulan berikutnya, proposal singkat dengan bumbu ilmu “tips lolos beasiswa dan merebut hati calon supervisor” telah siap secara instan. Bahagianya lagi, seorang asisten profesor dari UoB membalas e-mail “say hello” ku sebagai pengantar sebelum mengajukan proposal PhD. Nama beliau, sebut saja Dr. Stolberg, ilmuwan humaniora  asli Britania yang fokus meneliti Integrasi antara Sains dan Religi dalam pembelajaran. 

      Semua seperti telah on the track, kecuali satu hal, ibuku. Beliau langsung menanggapi agak dingin pada intonasi dalam telefon,  “Inggris? Kok jauh sekali. Nanti kalau ibu kalau kangen cucu-cucu bagaimana, mau ke sana jauh. Apa tidak cari yang lebih dekat saja? Nanti kamu kalau mau sholat di sana susah lho, jarang ada masjid…itu kata bu Narsito, tetangga kita, yang pernah diajak ke sana oleh putranya yang bekerja di Inggris.” Begitu teringat kata “sholat”, aku termenung. Teringat dulu ketika pelatihan IELTS di Bandung, ada satu sesi perkenalan peserta. Saat itu masing-masing peserta diminta memperkenalkan diri, bidang keahlian, kampus yang ingin dituju beserta alasannya. Saat giliranku, aku ingat sekali, ketika menyebut negara tujuan studi kusampaikan bahwa aku ingin studi ke Malaysia saja. Kenapa? Pertama karena dekat,  kedua, aku ingin studi di negara yang terdapat lantunan adzan lima kali dalam sehari. Aku ditertawakan, bahkan salah satu mentor berkelakar, “Saya dulu di Flinders University, Australia, tetap bisa mendengar adzan lima kali. Dari laptop.” Memang keinginanku itu terdengar lugu dan naif, tetapi jujur, ucapanku saat itu begitu tulus keluar dari hati, setulus sebuah untaian doa.

****

    Sepulang dari Malang, selaksa ucapan selamat kuterima dari kawan-kawan dan kolega. Hampir saja pujian itu membuatku melayang dan tergelincir dalam longkang kesombongan. Dan berbicara soal IELTS score, nilai itu sejatinya baru satu mata kalung saja dari sekian panjang untaian proses intake studi ke luar negeri, belum lagi perolehan beasiswanya, visa, perizinan, serta prosesi keberangkatan. Masih terlalu dini, berpuas dengan nilai tes seperti ini saja, bahkan bisa jadi nilai ini nanti tidak banyak berguna ketika benar-benar telah menempuh studi di strata tertinggi akademik itu.

      Baiklah, dibersamai sejumlah pertimbangan, kulanjutkan proses pengajujan proposal riset pada calon Supervisorku di UoB, Birmingham City. Tanggapan beliau baik, meski menurut pendapat dua teman lulusan master dan doktor dari Inggris yang kuminta bantuan untuk proofread tulisanku mengatakan, sorry to say, topik kurang tajam, goal riset kurang jelas, metodologi penelitian masih ngambang, dan bahasa Inggris tulisku masih datar. Draft proposalku ini masih perlu dikuatkan lagi tujuannya, karena belum kutemukan permasalahan yang benar-benar jelas untuk dipecahkan. Makin menantang makin seru, ujarku dalam hati untuk menyemangati diri.

      Dan benar saja, kematanganku menyusun proposal riset ternyata masih perlu digodog lebih lama lagi. Korespondensi dengan Dr. Stolberg berlangsung beberapa kali. Makin lama kubaca email beliau, tampaknya makin menipis pula kesabaran dan persediaan stok pujian untuk memotivasi prospektus mahasiswa bimbingannya ini agar terus membaik. Sampai pada suatu titik, melalui email, beliau mengatakan bahwa progress draft proposalku terlalu lamban dengan fokus yang kurang tertib. “Please don’t try to cover everything! The study needs to be manageable, so be realistic as to the particular issues/groups upon you can focus and the resources to access. In reality you will only have a maximum of three months for fieldwork.”. Benar kata kawan-kawan yang sebelumnya telah memberi saran dan masukan, aku telalu idealis-ambisius khas calon mahasiswa PhD pada umumnya, yang senantiasa berambisi ingin menjadi superhero menyelesaikan permasalahan dunia dalam tiga tahun studi. Aku merasa menemukan jalan buntu. Revisi draft proposal tertunda hingga cukup lama. Sementara itu, masa expired tes IELTS yang hanya dua tahun terus membayangi. Tidak terasa sudah hampir satu tahun sejak kegiatan PKBI di Malang, aku belum juga memeroleh Letter of Acceptance dari kampus yang kutuju. Bahkan sejumlah peluang beasiswa luar negeri dari Pemerintah seperti BPPLN dan BUDI-LN lewat sudah. Bagaimana ini?

      Sebuah email masuk ke kotak suratku. Kubaca, kok ada yang aneh, datang dari King Abdulaziz Scholarships. “Congratulations, DGS got the final acceptance from the ministry of education and will start the visa process in April 2019 to attend the Fall Semester 2019. Please send the visa place.  Sebentar, kok scholarships? Apakah ini semacam tawaran beasiswa atau apa? Promosi? Namun, tunggu sebentar, ini scholarship lho! Artinya pemberian beasiswa…dari namanya, King Abdulaziz University, perasaan pernah familiar dengan nama ini. Allahu akbar…ini ajuan beasiswaku pertama kali dulu. Sebuah ajuan aplikasi beasiswa yang kusangka sudah ditolak karena begitu lamanya tidak ada balasan. Ternyata aku diterima beasiswa di….Arab Saudi. Kota Jeddah. Univesritas King Abdulaziz.

     Bergegas aku segera memberitahu departemenku di kampus UMS bahwa beasiswaku diterima. Sebegitu gugup campur gembiranya, sampai-sampai aku lupa melihat jurusan apa yang kuajukan dulu dalam skim beasiswa itu. Baru sadar setelah aku harus mengisi blangko ajuan izin studi luar negeri di rektorat, ternyata jurusannya bukan Biologi seperti yang kusangka sebelumnya (karena di kampus sebelahnya, KAUST memang aku mengajukan jurusan Bioscience), melainkan Computer Information System  di Fakultas Computing and Information Technology. Usut punya usut, ternyata karena dulu tidak kutemukan jurusan Teknologi Pembelajaran untuk strata Doktoral, akhirnya kupilih yang agak dekat saja; Sistem Informasi  yang berbau-bau manajemen Pendidikan, dengan basis komputer/ informatika.

      Masalah muncul ketika departemenku tidak melapangkan izin untukku mengambil beasiswa ini. Pertama, karena jurusan tidak linear pedagogi; Kedua, kenapa ke Arab? Bukannya sudah ada koneksi ke Inggris dengan jurusan yang lurus dengan ilmu pendidikan. “Eh, kok ke Arab? Mau jadi TKI ya?” terdengar nada terkejut ditambah dengan gurat kecewa dari ibu Kepala Departemen. Kecewa, karena beliau sangat berharap ada Doktor Pendidikan di departemen beliau yang berasal dari lulusan luar negeri. Bak bola salju yang menggelinding, bahasa dan mosi penolakan yang datang dari internal Departemenku sendiri ekshalasinya makin besar. Arab Saudi identik dengan ilmu Agama Islam alih-alih Sains Biologi atau Pedagogi ala Western. Berdengung-dengung kepalaku dengan gejolak ini.

      Berbeda dengan orang tuaku. Mendengar kabar beasiswa Arab Saudi, mereka menyambut positif. Bahkan Ayahku memberi dukungan kuat untuk ke sana. “Sekalian belajar agama dan ibadah. Bisa umroh dan haji.” Istriku pun demikian, senyumnya lebih sumringah dan lebar daripada ketika kukabari niatku mengajukan proposal ke Inggris. Ketika polemik ini melebar ke wilayah fakultas bahkan rektorat, makin bimbang langkahku. Lingkup fakultas atau dekanat menyatakan tidak masalah jika akan lanjut ke Saudi dengan jurusan yang tidak linear, dengan konsekuensi mungkin bisa nanti pindah departemen. “ Ya Allah, kok malah pindah departemen? Aku cinta dengan departemen pendidikan Biologi ku sekarang, meski ta bisa kupungkiri bahwa  aku juga menyenangi teknologi dan komputer dalam pembelajaran.” Muncul rumor bahwa diriku akan pindah ke teknik atau departemen pendidikan IT. Bahkan ada selentingan kabar bahwa jika besok lulus, aku tidak akan diterima lagi di departemen asalku. Sedih. “Bukankah ilmu itu tidak rigid dan tertutup? Bukankah studi lintas ilmu itu sudah biasa di zaman sekarang? Bahkan linearitas kaku sudah tidak diberlakukan lagi oleh Kemenristekdikti? Entahlah. Ini semua buatku sedih, sangat sedih.”

      Ketika kepenatan dan dua pilihan besar ada di depan mata kita, dan kita serasa tidak memiliki kekuatan hati untuk memilihnya, saatnya kembali pada pemilik segala urusan. Di sanalah semua cobaan bermula dan di sana pulalah jawabannya akan tersedia. Istikharah, sholat memohon petunjuk. “Yaa Allah tunjukilah jalan terbaik bagi pilihan hamba. Dekatkanlah apa yang terbaik untuk agama dan akhirat hamba”

****  

   Dari kejauhan dapat kulihat sebuah gerbang besar berbentuk Al Quran yang terbuka, menaungi jalan raya yang sangat lebar. Bergetar hatiku melihatnya. Kurapalkan doa-doa yang sudah kuhapal, “Labbaik Allahumma labbaik, labbaika laa syarikalaka labbaik. Innal hamda, wani’mata laka wal mulk, laa syarikalak.” Inilah umroh pertamaku, berangkat dari miqat asrama mahasiswa King Abdulaziz University, Jeddah, Arab Saudi.

.makkah