Category Archives: Catatan Harian

Perjalanan Hidup yang belum sempat terbukukan

Kutipan

Menggenggam Istikharah antara Birmingham dan Jeddah (bagian 4 dari 4)

The United Kingdom Dreams dan Secarik E-Mail dari another Kingdom

      Masih ada satu kali lagi IELTS official test dalam rangkaian PKBI di Malang. Namun skor 7,5 telah merubah semua konstelasi cara berpikirku. Dalam benakku sekarang yang ada adalah Inggris dan Inggris, khususnya University of Birmingham, College of Social Science,  di bagian PhD The School of Education. Wah, gagah sekali kelihatannya. Lupa sudah aku dengan masa lalu kelam sulitnya beroleh skor 6,5. Maka, sisa waktuku di PKBI UM Malang kuisi dengan persiapan untuk menembus gerbang PhD ke negeri pemilik Liga Sepakbola Premiere League tersebut.

     Segala daya dan upaya kufokuskan untuk menemukan sebanyak mungkin informasi dan bahan baku persiapan untuk studi ke UoB, mulai dari menghubungi kolega yang pernah lolos beasiswa ke Inggris, meminta prospektus dari UoB sendiri (Luar biasa, mereka kirimkan hardcopy dari booklet prospectus PhD langsung dari Inggris, gratiss…bagaimana makin tidak mantab jika sudah begini?), info cara menyusun proposal riset, dan mulai mencari calon Supervisor yang risetnya sesuai dengan interesku. Bisa dikatakan, selama sepekan pasca pengumuman hasil tes IELTS, hidupku hanya berisi ratusan halaman website tentang Inggris, PhD programme dan kota Birmingham. Membayangkan kota yang megah dengan bangunan-bangunan kastil dan gedung khas abad pertengahan, bis merah khas Inggris, daun Willow yang berguguran, anak-anakku studi di sekolah klasik yang berusia puluhan tahun, jalan-jalan keliling kampus yang mirip Hogwarts, foto-foto di Joe the Bot di Birmingham, dan betapa kerennya pamorku menjadi seorang mahasiswa PhD di Inggris. Namanya juga fall in love at first sight.   

      Seolah-olah keadaan sekelilingku-pun seperti mendukung niat besarku sekolah doktoral di kampus berbatubata merah itu. Dimulai dari ide untuk menyusun proposal bertopik Integration between Islamic and Religion in Science Education yang selama ini menjadi minatku selain dari teknologi pembelajaran, bertemu dengan teman diskusi yang berbobot di kelas C PKBI, adanya pelatihan penulisan proposal oleh salah satu profesor pengajar kami di kampus UM Malang ini, dan terbukanya pintu kemudahan untuk terhubung-kontak kembali dengan para kolega, baik alumni SMA 8 dulu atau kawan dari Forum Lingkar Pena Yogyakarta (keduanya adalah alumni universitas di Inggris). Setidaknya dalam satu bulan berikutnya, proposal singkat dengan bumbu ilmu “tips lolos beasiswa dan merebut hati calon supervisor” telah siap secara instan. Bahagianya lagi, seorang asisten profesor dari UoB membalas e-mail “say hello” ku sebagai pengantar sebelum mengajukan proposal PhD. Nama beliau, sebut saja Dr. Stolberg, ilmuwan humaniora  asli Britania yang fokus meneliti Integrasi antara Sains dan Religi dalam pembelajaran. 

      Semua seperti telah on the track, kecuali satu hal, ibuku. Beliau langsung menanggapi agak dingin pada intonasi dalam telefon,  “Inggris? Kok jauh sekali. Nanti kalau ibu kalau kangen cucu-cucu bagaimana, mau ke sana jauh. Apa tidak cari yang lebih dekat saja? Nanti kamu kalau mau sholat di sana susah lho, jarang ada masjid…itu kata bu Narsito, tetangga kita, yang pernah diajak ke sana oleh putranya yang bekerja di Inggris.” Begitu teringat kata “sholat”, aku termenung. Teringat dulu ketika pelatihan IELTS di Bandung, ada satu sesi perkenalan peserta. Saat itu masing-masing peserta diminta memperkenalkan diri, bidang keahlian, kampus yang ingin dituju beserta alasannya. Saat giliranku, aku ingat sekali, ketika menyebut negara tujuan studi kusampaikan bahwa aku ingin studi ke Malaysia saja. Kenapa? Pertama karena dekat,  kedua, aku ingin studi di negara yang terdapat lantunan adzan lima kali dalam sehari. Aku ditertawakan, bahkan salah satu mentor berkelakar, “Saya dulu di Flinders University, Australia, tetap bisa mendengar adzan lima kali. Dari laptop.” Memang keinginanku itu terdengar lugu dan naif, tetapi jujur, ucapanku saat itu begitu tulus keluar dari hati, setulus sebuah untaian doa.

****

    Sepulang dari Malang, selaksa ucapan selamat kuterima dari kawan-kawan dan kolega. Hampir saja pujian itu membuatku melayang dan tergelincir dalam longkang kesombongan. Dan berbicara soal IELTS score, nilai itu sejatinya baru satu mata kalung saja dari sekian panjang untaian proses intake studi ke luar negeri, belum lagi perolehan beasiswanya, visa, perizinan, serta prosesi keberangkatan. Masih terlalu dini, berpuas dengan nilai tes seperti ini saja, bahkan bisa jadi nilai ini nanti tidak banyak berguna ketika benar-benar telah menempuh studi di strata tertinggi akademik itu.

      Baiklah, dibersamai sejumlah pertimbangan, kulanjutkan proses pengajujan proposal riset pada calon Supervisorku di UoB, Birmingham City. Tanggapan beliau baik, meski menurut pendapat dua teman lulusan master dan doktor dari Inggris yang kuminta bantuan untuk proofread tulisanku mengatakan, sorry to say, topik kurang tajam, goal riset kurang jelas, metodologi penelitian masih ngambang, dan bahasa Inggris tulisku masih datar. Draft proposalku ini masih perlu dikuatkan lagi tujuannya, karena belum kutemukan permasalahan yang benar-benar jelas untuk dipecahkan. Makin menantang makin seru, ujarku dalam hati untuk menyemangati diri.

      Dan benar saja, kematanganku menyusun proposal riset ternyata masih perlu digodog lebih lama lagi. Korespondensi dengan Dr. Stolberg berlangsung beberapa kali. Makin lama kubaca email beliau, tampaknya makin menipis pula kesabaran dan persediaan stok pujian untuk memotivasi prospektus mahasiswa bimbingannya ini agar terus membaik. Sampai pada suatu titik, melalui email, beliau mengatakan bahwa progress draft proposalku terlalu lamban dengan fokus yang kurang tertib. “Please don’t try to cover everything! The study needs to be manageable, so be realistic as to the particular issues/groups upon you can focus and the resources to access. In reality you will only have a maximum of three months for fieldwork.”. Benar kata kawan-kawan yang sebelumnya telah memberi saran dan masukan, aku telalu idealis-ambisius khas calon mahasiswa PhD pada umumnya, yang senantiasa berambisi ingin menjadi superhero menyelesaikan permasalahan dunia dalam tiga tahun studi. Aku merasa menemukan jalan buntu. Revisi draft proposal tertunda hingga cukup lama. Sementara itu, masa expired tes IELTS yang hanya dua tahun terus membayangi. Tidak terasa sudah hampir satu tahun sejak kegiatan PKBI di Malang, aku belum juga memeroleh Letter of Acceptance dari kampus yang kutuju. Bahkan sejumlah peluang beasiswa luar negeri dari Pemerintah seperti BPPLN dan BUDI-LN lewat sudah. Bagaimana ini?

      Sebuah email masuk ke kotak suratku. Kubaca, kok ada yang aneh, datang dari King Abdulaziz Scholarships. “Congratulations, DGS got the final acceptance from the ministry of education and will start the visa process in April 2019 to attend the Fall Semester 2019. Please send the visa place.  Sebentar, kok scholarships? Apakah ini semacam tawaran beasiswa atau apa? Promosi? Namun, tunggu sebentar, ini scholarship lho! Artinya pemberian beasiswa…dari namanya, King Abdulaziz University, perasaan pernah familiar dengan nama ini. Allahu akbar…ini ajuan beasiswaku pertama kali dulu. Sebuah ajuan aplikasi beasiswa yang kusangka sudah ditolak karena begitu lamanya tidak ada balasan. Ternyata aku diterima beasiswa di….Arab Saudi. Kota Jeddah. Univesritas King Abdulaziz.

     Bergegas aku segera memberitahu departemenku di kampus UMS bahwa beasiswaku diterima. Sebegitu gugup campur gembiranya, sampai-sampai aku lupa melihat jurusan apa yang kuajukan dulu dalam skim beasiswa itu. Baru sadar setelah aku harus mengisi blangko ajuan izin studi luar negeri di rektorat, ternyata jurusannya bukan Biologi seperti yang kusangka sebelumnya (karena di kampus sebelahnya, KAUST memang aku mengajukan jurusan Bioscience), melainkan Computer Information System  di Fakultas Computing and Information Technology. Usut punya usut, ternyata karena dulu tidak kutemukan jurusan Teknologi Pembelajaran untuk strata Doktoral, akhirnya kupilih yang agak dekat saja; Sistem Informasi  yang berbau-bau manajemen Pendidikan, dengan basis komputer/ informatika.

      Masalah muncul ketika departemenku tidak melapangkan izin untukku mengambil beasiswa ini. Pertama, karena jurusan tidak linear pedagogi; Kedua, kenapa ke Arab? Bukannya sudah ada koneksi ke Inggris dengan jurusan yang lurus dengan ilmu pendidikan. “Eh, kok ke Arab? Mau jadi TKI ya?” terdengar nada terkejut ditambah dengan gurat kecewa dari ibu Kepala Departemen. Kecewa, karena beliau sangat berharap ada Doktor Pendidikan di departemen beliau yang berasal dari lulusan luar negeri. Bak bola salju yang menggelinding, bahasa dan mosi penolakan yang datang dari internal Departemenku sendiri ekshalasinya makin besar. Arab Saudi identik dengan ilmu Agama Islam alih-alih Sains Biologi atau Pedagogi ala Western. Berdengung-dengung kepalaku dengan gejolak ini.

      Berbeda dengan orang tuaku. Mendengar kabar beasiswa Arab Saudi, mereka menyambut positif. Bahkan Ayahku memberi dukungan kuat untuk ke sana. “Sekalian belajar agama dan ibadah. Bisa umroh dan haji.” Istriku pun demikian, senyumnya lebih sumringah dan lebar daripada ketika kukabari niatku mengajukan proposal ke Inggris. Ketika polemik ini melebar ke wilayah fakultas bahkan rektorat, makin bimbang langkahku. Lingkup fakultas atau dekanat menyatakan tidak masalah jika akan lanjut ke Saudi dengan jurusan yang tidak linear, dengan konsekuensi mungkin bisa nanti pindah departemen. “ Ya Allah, kok malah pindah departemen? Aku cinta dengan departemen pendidikan Biologi ku sekarang, meski ta bisa kupungkiri bahwa  aku juga menyenangi teknologi dan komputer dalam pembelajaran.” Muncul rumor bahwa diriku akan pindah ke teknik atau departemen pendidikan IT. Bahkan ada selentingan kabar bahwa jika besok lulus, aku tidak akan diterima lagi di departemen asalku. Sedih. “Bukankah ilmu itu tidak rigid dan tertutup? Bukankah studi lintas ilmu itu sudah biasa di zaman sekarang? Bahkan linearitas kaku sudah tidak diberlakukan lagi oleh Kemenristekdikti? Entahlah. Ini semua buatku sedih, sangat sedih.”

      Ketika kepenatan dan dua pilihan besar ada di depan mata kita, dan kita serasa tidak memiliki kekuatan hati untuk memilihnya, saatnya kembali pada pemilik segala urusan. Di sanalah semua cobaan bermula dan di sana pulalah jawabannya akan tersedia. Istikharah, sholat memohon petunjuk. “Yaa Allah tunjukilah jalan terbaik bagi pilihan hamba. Dekatkanlah apa yang terbaik untuk agama dan akhirat hamba”

****  

   Dari kejauhan dapat kulihat sebuah gerbang besar berbentuk Al Quran yang terbuka, menaungi jalan raya yang sangat lebar. Bergetar hatiku melihatnya. Kurapalkan doa-doa yang sudah kuhapal, “Labbaik Allahumma labbaik, labbaika laa syarikalaka labbaik. Innal hamda, wani’mata laka wal mulk, laa syarikalak.” Inilah umroh pertamaku, berangkat dari miqat asrama mahasiswa King Abdulaziz University, Jeddah, Arab Saudi.

.makkah

Kutipan

Menggenggam Istikharah antara Birmingham dan Jeddah (Bagian 3 dari 4)

Kemalangan yang Berakhir di kota Malang

      Lagi-lagi grup WA “Sik Penting Submit (SPS)” meberi kabar harapan tentang pelatihan IELTS bagi dosen-dosen di bawah naungan LLDIKTI di seluruh Indonesia, PKBI nama programnya; “Peningkatan Kemampuan Bahasa Inggris”. Acara ini diselenggarakan di Bandung, Malang dan Yogyakarta, di tiga universitas ternama di tiga kota tersebut, yaitu ITB, Universitas Negeri Malang (UM), dan UNY. “Lumayan ini, untuk perbaikan nilai IELTS kita, diberi tunjangan lagi oleh DIKTI. Hanya saja, pelaksanaannya tiga bulan dan lokasi kotanya biasanya dipilih yang jauh dari kampus homebase kita.”, warga grup SPS memberi kabar. Maasyaa Allah, kesempatan menarik ini. Kapan lagi bisa belajar IELTS secara intensif, dibimbing oleh para ahlinya, dan dibiayai penuh lagi oleh negara, gumamku dalam hati. Akan tetapi ini tiga bulan lho, artinya meninggalkan kampus selama hampir satu semester.

      Alhamdulillah, setelah kukonsultasikan pada Kepala Depertemen ku, tanggapan beliau positif dan mempersilahkan. Beliau paham, bahwa memeroleh skor IELTS yang baik sebagai syarat beasiswa ke luar negeri adalah visi Universitas yang harus diterjemahkan oleh tiap unit Pendidikan di bawahnya. Benar-benar anugerah memiliki pimpinan seperti beliau, terima kasih yang takterkira bu Kaprodi. Alhamdulillah, semua syarat bisa kupenuhi meski dengan sejumlah perjuangan dan pengeluaran anggaran. Tidak mengapa, Jer basuki mawa beya pepatah Jawa bilang. Artinya setiap kemuliaan pasti memerlukan modal biaya.

****

            Kota Malang ternyata sudah tidak sedingin dulu seperti ketika pertama kali datang ke sini tahun 2006, atau dua belas tahun yang lalu. Waktu itu, aku datang sebagai mahasiswa peserta PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) di Universitas Muhammdiyah Malang (UMM). Dinginnya kota apel ini begitu menggigit, sampai akhirnya hari terakhir acara aku terserang flu dan demam. Meski akhirnya aku tetap terhibur dengan perolehan medali perunggu untuk karya ilmiah yang kami perjuangkan di bawah bendera kontingen mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta.

      Kuusap keringatku ketika keluar dari Stasiun Malang Kota untuk mencari taksi online menuju lokasi kosan yang sudah kupesan sepekan sebelum keberangkatan. Oh iya lupa, pengajuanku untuk mengikuti PKBI diterima, dan Malang adalah kota penempatan studi intensif IELTS ku kali ini. Tak sia-sia perjuangan untuk bisa lolols PKBI ke Malang ini meninggalakan zona nyaman di rumah dan kampus. Menarik sekali ternyata program PKBI di kampus UM Malang ini. Dosen-dosen pengajarnya berpengalaman; terdiri dari Profesor Pendidikan Bahasa Inggris, Doktor pakar bahasa, serta magister lulusan luar negeri dengan pengalaman tembus beasiswa ke Australia, Inggris, juga New Zealand. Belum lagi dosen-dosen tamu yang merupakan representasi kampus dari Amerika dan Eropa, yang khusus datang untuk mempromosikan beasiswa kampus di negara mereka. Belum lagi ketika bertemu dengan kawan dosen-dosen dari penjuru Indonesia, membuka wawasan dan semnagat kolegial kita. Setidaknya itu kesan awal pada dua pekan pertama ada di dalam program yang punya nama lain PDEC ini; Pre-Departure English Course.

Universitas Negeri Malang, titik terang dalam perjalanan capaian IELTS

      Namun, tak ada kesenangan yang tidak dibersamai kesulitan. Mulailah belajar intensif IELTS ini menunjukkan taji tantangannya. Di antara 4 kemampuan berbahasaku, yaitu menyimak (listening), membaca (reading), menulis (writing), dan berbicara (speaking) kesemuanya tak kunjung menunjukkan perbaikan. Paling parah adalah skill listening dan speaking. Sementara yang agak parah adalah writing disusul reading. Kadang kalau sholat wajib, waktu sujud aku sengaja agak lamakan waktunya. Bermunajat pada Allah agar diberi taufik dan hidayah di bidang IELTS yang satu ini. Malu aku, sudah meninggalkan tugas mengajar, jatah insentif mengajar di kampus yang seharusnya menjadi nafkah tambahan untuk sekolah tiga anakku yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit menjadi tidak ada, masih ditambah kemampuan IELTS ku yang tak juga membaik. “Sabar, namanya proses, kan baru sebulan”, hibur istriku melalui WA call. “Anak-anak selalu kuingatkan untuk mendoakan Abi di sana agar meperoleh skor yang diinginkan serta diberi petunjuk studi ke tempat yang terbaik.” suara wanita yang kukhitbah di bawah pohon Akasia di depan rektorat UNY 14 tahun silam itu, memberiku kesejukan. Semangat lagi!

      Namun kembali kenyataan tak seindah harapan, tes formatif tiap dua pekan memberi hasil skor simulasi IELTS berkisar antara 5,0 sampai 5,5 saja, tidak juga membaik. Sementara Official test IELTS pertama (kami mendapat dua jatah tes Official IELTS tiap 1,5 bulan) semakin dekat. Sampai tahap  ini aku tak juga bisa berpikir visioner untuk menunju kampus mana di luar negeri. Boro-boro sekolah luar negeri, skor saja tak juga berprospek sampai ke 6,5. Di kelas pun aku tak cukup percaya diri seperti kawan dosen lain yang sudah memiliki kampus targetnya; ada yang di Australia, Belanda, Skotlandia, atau negara Eropa lainnya (karena kawan-kawan ini ada pula yang sudah memeroleh LoA atau Letter of Acceptance, namun masih butuh haisl skor IELTS yang mencukupi sebagai syarat beasiswa). Upaya yang terus kulakukan adalah memperbaiki kualitas sholat di masjid, sedekah, puasa sunnah, dan tilawah Al Quran; semacam tidak nyambung dengan IELTS ya? Lha bagaimana lagi, segala upaya fisik-akademik sudah kucoba lakukan, tapi belum ada tampak titik cerah di depan sana. Ya sudah, ilmu orang kepepet dan sadar akan kelemahan diri setelah ikhtiar maksimal, adalah tawakkal.

      Alhamdulillah, ajaibnya, seperti ada kekuatan inspiratif yang mengarahkan ikhtiarku. Aku seperti dituntun untuk belajar bahasa Inggris dengan gayaku sendiri. Untuk listening, aku buka video-video YouTube kajian Islam berbahasa Inggris seperti Nouman Ali Khan, Mufti Menk, atau channel The Merciful Servant dan The Rational Believers, sebagai suplemen belajar selain dari video Learning English dari BBC dan aplikasi android tentang pelatihan IELTS yang kredibel. Dengan mengaktifkan autotext English subtitle, kajian Islam yang disampaikan dalam video tersebut dapat kupelajari teks, kosakata, serta prononsiasi-nya. Sementara untuk menambah referensi kosakata dan skill reading, aku gunakan Al Quran terjemahan English yang standar. Jika kutemukan kata-kata yang unik dan belum kuketahui artinya serta penggunaannya dalam kalimat, kucatat semua di atas kertas dan kucari maknanya menggunakan persilangan antara kamus Merriam Websters  Dictionary dan kamus terjemah Inggris-Indonesia. Alhamdulillah, kiat ini secara kombo membuatku bersemangat, aku tetap belajar Islam yang menjadi minatku sekaligus bisa belajar bahasa Inggris sebagai persiapan Official Test.

      Meski insentif bulanan program PKBI is notorious akan keterlambatannya, tetapi kuusahakan untuk tetap bersedekah di masjid dekat kontrakan kost, seberapapun itu, dan setiap hari. Sembari terus kuperbanyak berdoa saat waktu mustajab; seperti ketika sujud, antara adzan dan iqomah, antara dua khutbah Jumat, dan sepertiga malam akhir, agar Allah berikan kemudahan bagiku mendapatkan skor 6.5, ya cukup 6.5 saja. Supaya aku bisa pulang kembali ke kampus dengan kepala tegak. Please ya Allah…please… suaraku memelas dalam kesunyian batin. Bakda subuh juga bisa kumanfaatkan untuk berlatih listening dan writing karena suasana masih tenang dan memudahkan untuk fokus. Sementara untuk latihan speaking tetap harus berlatih di kelas bersama kawan-kawan. Meski tercekat-cekat aku dalam berbicara English, tetapi di kelas bisa lebih percaya diri sebab kawan-kawan yang sudah jago bertutur bersedia membimbing dan memberi saran pada kawan yang belum lancar. It was so really fun to learn with you, Guys!    

            Hari yang kucoba hindari, mau tidak mau datang juga, inilah dia D-Day of the IELTS official test! Malam sebelumnya sesenggukan aku bermohon pertolongan dari Allah agar diberi kemudahan agar memeroleh skor 6,5 saja, Please yaa Allah. Sebelum berangkat pun, dengan kepercayaan diri yang tipis, kuputuskan untuk sholat Dhuha sekaligus istikharah, agar dimudahkan untuk memilih pilihan terbaik. “Yaa Allah, hamba benar-benar takut kali ini. Takut jika hasilnya mengecewakan, takut jika tidak bisa memenuhi harapan dan amanah dari kampus dan orang-orang yang berdoa untuk hamba. Tolonglah hamba-Mu ini Yaa Allah…tolonglah…mudahkanlah yaa Rabb dan janganlah Engkau beri pada hamba kecuali kemudahan. Aamiin.

****

     Empat belas hari berlalu setelah tes official yang membadai-guruhkan jiwa dan fisikku itu. Hari itu adalah hari Jumat. Posisiku sedang pulang libur akhir pekan. Ya, jarak Malang sampai Klaten hanya enam jam saja dengan kereta. Sehingga aku beberapa kali bisa pulang setiap dua pekan. Bakda sholat jumat, kuberanikan diri mengintip grup WA PKBI UM Malang. Sudah ramai ternyata…skor IELTS sudah muncul! DEG! Dadaku berdebar serius. Sebuah tautan alamat situs untuk memeriksa hasil IELTS sudah dishare oleh salah satu kawan. Hampir sepuluh menit aku masih maju-mundur untuk mengeklik link tersebut. Bismillah….

      Setelah kumasukkan nomor identitas, tanggal tes, dan nomor tes…hasilnya keluar. Yaa Allah! Doaku selama ini, doa anak-istriku, doa orang tuaku agar skor IELTS ku mendapat 6,5 saja, TIDAK DIKABULKAN ALLAH! Karena setelah kuperiksa dengan cermat…skor overall IELTS ku adalah…. 7,5! Langsung kutersungkur sujud di lantai. Sejurus kemudian aku berlari menuju istriku dan memeluknya erat. Suaraku tergetar, “Mii, alhamdulillah aku dapat 7,5!” Spontan aku berseru, “Inggris, aku bisa ke Inggris!” Kemalanganku belajar IELTS berakhir sudah di kota Malang, bersama harapan baru untuk berjuang mencari beasiswa ke negeri Britania Raya. Indeed, Britania Raya, karena diam-diam sejak pertama kali aku kenal dan latihan speaking berpasangan dengan kawan dosen UMS lulusan University of Birmingham, UK peraih skor IELTS 7,0 pada pelatihan IELTS di Bandung dulu, hatiku mulai terpaut dengan cerita pengalamannya belajar di negeri ratu Elizabeth serta aksen British yang menawan itu. Oh, Dear

Bersambung ke bagian 4

(Sekilas bagian 4)

…“Please don’t try to cover everything! The study needs to be manageable, so be realistic as to the particular issues/groups upon you can focus and the resources to access. In reality you will only have a maximum of three months for fieldwork.”

Kutipan

Menggenggam Istikharah antara Birmingham dan Jeddah (Bagian 2 dari 4)

Bersabar tanpa boleh lelah, bersabar tanpa boleh menyerah, karena bersabar itu indah dan dibersamai ﷲ. ((Muhammad Luthfi))

Sik Penting Submit

      Ganjalan dalam dada akibat skor IELTS yang labil sedikit hilang setelah bertemu dengan para mahasiswa baru di Kampus. Mengajar adalah hidup dan kegembiraanku. Bertahun-tahun sebelum menjadi dosen, aku adalah guru dan trainer di berbagai jenjang sekolah yang berbeda. Sebelum lulus menjadi sarjana Pendidikan tahun 2007 pun, aku sudah mengajar di berbagai tempat dan institusi. Maklum, kejar setoran sebagai kepala rumah tangga yang harus mencari nafkah bagi anak istri. Ya, aku menikah ketika semester empat kuliah S1 FMIPA di UNY Yogyakarta, sehingga wajiblah bagiku untuk bekerja menjemput rezeki dari-Nya sejak kuliah dulu. Dan mengajar serta menulis adalah salah satu andalanku selain dari berjualan barang dan jasa.

      Bercengkerama dengan mahasiswa, praktikum laborat Biologi, kuliah, dan studi Biologi di lapangan sejenak melupakanku dari kegundahan status kepegawaianku di kampus. Sampai pada perjalanan ini, aku mulai bertemu dengan dosen-dosen muda senior (dosen muda tetapi lebih dulu masuk di UMS) dengan segudang pengalaman mereka mengenai seluk-beluk kepegawaian dan hikmah di balik persyaratan tersebut. “Tujuannya skor IELTS mencukupi itu supaya peluang kita tembus doctoral luar negeri semakin tinggi. Dan semakin banyak Doktor lulusan luar negeri, tentunya akan menambah kredibilitas dan daya gedor kampus kita di kancah Akademik Nasional.” Begitu kata salah satu senior tersebut. Beliau ini salah satu Magister edukasi dari Universitas Aberdeen, Skotlandia, sekaligus  inisiator grup Whatsapp “Sing Penting Submit”.   

      Grup WA Sing Penting Submit (SPS) tersebut bervisi-misi agar anggotanya terus berjuang dengan Submit proposal dan aplikasi studi demi mendapat beasiswa atau program doctoral di Luar Negeri. Karena prinsip grup ini adalah  “rezeki pasti menemukan jalannya”, maka  tiap anggota grup diwajibkan untuk sebanyak-banyaknya submit proposal studi dan aplikasi di setiap peluang beasiswa luar negeri, entah di Asia, Afrika, Australia, atau Eropa tanpa pandang negara; asal bukan Antartika. Dari mengingat slogan grup inilah, dengan bermodal IELTS 6.0, kuberanikan diri mensubmit aplikasi serta proposal riset doktoral ke sejumlah universitas di negara-negara yang masih menerima skor 6,0. Memang, kalau hendak masuk ke jurusan Sains murni atau Teknik, ada beberapa negara yang masih menerima skor IELTS 6,0. Namun, mengingat konsentrasiku di bidang Pendidikan atau masuk dalam rumpun Humaniora atau Sosial sains, nilai 6.0 adalah sangat pas-pasan, Kawan. Rata-rata jurusan Humaniora meminta skor overall 6,5 bahkan 7,0 untuk IELTS. Yaa Salaam.    

      Setelah mengulak-alik dari benua-ke-benua, negara-ke-negara, dan kampus-demi-kampus…jatuhlah pilihan pada dua negara, yaitu Jepang dengan Kanazawa University dan Saudi Arabia dengan King Abdulaziz University/KAU (Jeddah), King Saud University/ KSU (Riyadh), serta King Abdullah Science and Technology/ KAUST (Thuwal). Berbekal Basmallah, dokumen yang telah dipindai serta pengantar dari dua dosen pembimbing dari Pascasarjana Pendidikan Biologi UNY, kulayangkan berkas-berkas digital itu menuju negeri nun jauh di sana. Sembari berdoa agar diberikan keputusan yang terbaik. Jurusan yang kutuju di Kanazawa University (KU) adalah Teknologi Pembelajaran plus calon supervisor yang riset-risetnya terkait dengan minatku di bidang tersebut. KU adalah kampus yang secara resmi bekerja sama dengan Kemetrian Ristekdikti dalam beasiswa studi doctoral. Sementara untuk Saudi Arabia, karena persyaratan IELTS untuk doctoral di negara ini cukup 5,5-6,0 saja, aku memilihi jurusan BioScience di KAUST, Computer Information System di KAU, dan Ilmu Pendidikan di KSU.  

      Balasan tercepat datang dari Kanazawa University. E-mail datang sehari setelah submit, isinya meminta agar semua dokumen diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Ternyata ijazah S1 ku belum berbahasa Inggris, maklum lulusan tahun baheula, 2007, sehingga saat itu wawasannya masih “lulus jadi guru”, sudah. Misal akan lanjut studi-pun, itu untuk magister dalam negeri. Baiklah, translasi bahasa kulakukan secara mandiri dengan bantuan Google Translate (sebuah kedunguan bercampur naif, sebab seharusnya diterjemahkan oleh penerjemah tersumpah yang legal-formal).

      Alhamdulillah ‘alaa kulli hal, surat balasan bahwa persyaratan administrasi tidak lolos segera terpajang di ruangan kotak masuk surat elektronikku. Balasan berikutnya datang dari King Saud University, kuota mahasiswa internasional sudah terpenuhi, rejected. Dilanjutkan oleh KAUST dengan alasasn yang setali tiga uang. Satu lagi KAU, tidak ada balasan, kupikir juga sama saja rejected. Sah, aku belum siap untuk S3 di luar negeri dengan skill menyusun proposal riset dan skill bahasa pas-pasan seperti ini. Murung, kulupakan sejenak cita-cita belajar S3 di luar negeri serta harapan kemapanan hidup sebagai dosen tetap di UMS.      

      Sejumlah peluang beasiswa berikutnya berdatangan. Lagi-lagi grup WA “Sing Penting Submit” memotivasi para anggotanya untuk terus kirim dan mendaftar, Turkiye Burslari (Turki), Stipendum Hungaricum (Hungaria), juga Monbusho (Jepang). Namun entah kenapa, aku berasa sudah lelah. Misal coba submit pun, paling berhenti di tengah jalan. Aku benar-benar lelah, karena penolakan ternyata tidak indah. Izinkan aku rehat sejenak kawan-kawan. Kutergugu sendu dalam ringkuk kesedihan, terlebih ketika satu-demi-satu ada kabar gembira dari kawan-kawan seperjuangan yang diterima beasiswanya di negara manca. Dua kawan dosen satu angkatan di pelatihan IELTS Bandung dulu, dua-duanya juga dari departemenku, Pendidikan Biologi, sudah menerima beasiswa dan segera semuanya berangkat ke Jepang, Kanazawa University dan Ryukyush University di Okinawa.

      Aku ikut bahagia untuk mereka, karena bagaimanapun juga, prestasi ini adalah kebanggaan bagi departemen dan Fakultasku, kucoba menghibur diri dan melihat peristiwa itu dari kacamata yang lebih tinggi. Bagaimana denganku? Kutarik napas sembari berucap lirih: “AllahuAllahuAllahu, kepadaMu-lah diri yang lemah ini bersandar serta berharap”. Khusnudzhan saja, bahwa Allah sang Maha Bijaksana inginkan ku untuk lebih banyak mengenal dan belajar-mengajar di kampus UMS dulu, jangan buru-buru ditinggal ke luar negeri. Masih banyak yang perlu kukenali dan kupelajari. Bersabar tanpa boleh lelah, bersabar tanpa boleh menyerah, karena bersabar itu indah dan dibersamai Allah.

Bersambung ke bagian 3

(Sekilas bagian 3)

… Malu aku, sudah meninggalkan tugas mengajar, jatah insentif mengajar di kampus yang seharusnya menjadi nafkah tambahan untuk sekolah tiga anakku yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit menjadi tidak ada, masih ditambah kemampuan IELTS ku yang tak juga membaik

Kutipan

Menggenggam Istikharah antara Birmingham dan Jeddah (bagian 1 dari 4)

Karena rencana Allah lebih indah, dari sekedar hasrat yang membuncah.

Karena rahasia-Nya terlalu tinggi untuk digerutu dan disesali

Karena Dia, Sang Maha, tak pernah lupa

Pada doa-doa yang pernah kita haturkan kehadirat-Nya.

Hanya perlu yakin, setiap hikmah pasti hadir tiba masanya.

IELTS oh IELTS

Sabtu ini adalah malam terakhirku berada di kota Bandung dalam rangka menjalankan tugas dari homebase-ku, Universitas Muhammadiyah Surakarta, untuk mengikuti pelatihan IELTS bagi dosen-dosen muda. Baru maghrib tadi aku selesai IELTS Official test pada conversation section di salah satu hotel di kota kembang ini bersama tiga puluhan dosen muda UMS lainnya. Letih.

            Kampus tempat kami nantinya akan bekerja sebagai dosen, mewajibkan setiap dosen baru untuk segera bisa melanjutkan studi doktoral. Dan sangat direkomendasikan untuk keluar negeri. Setidaknya itulah klausul pertanyaan krusial saat wawancara dengan Wakil Rektor V UMS yang membawahi bidang SDM dan studi luar negeri, “Apakah Anda bersedia untuk segera melanjutkan studi ke luar negeri?”. Barangkali jawaban afirmatif dari pertanyaan itulah yang membuat sebagian besar dari kami diterima sebagai dosen di kampus Muhammadiyah kebanggaan kota Solo Raya ini. Dan inilah kami sekarang, harus berjibaku selama sebulan penuh untuk kursus peningkatan kemampuan English agar tembus tes IELTS dengan skor terhormat. Sehingga, kami memiliki peluang lebih besar untuk tembus skema beasiswa doktoral, darimanapun sumber pendanaannya.

            Alhmadulillah, besok pagi siap-siap pulang ke Solo dengan kereta dan melanjutkan tugas perdana untuk mulai mengajar mahasiswa baru semester ganjil. Kami pulang dengan kelegaan yang bersanding dengan sedikit anxiety. Ya, kecemasan jika skor IELTS kami tidak mencapai standar minimum 6,5. Karena skor tersebut sebagai syarat pula sebelum kami bisa diangkat menjadi dosen tetap nantinya setelah masa evaluasi setahun berikutnya sebagai Capeg (Calon Pegawai).

            Singkat cerita, dua pekan lebih berlalu. Dag-dig-dug, kubuka ponselku untuk memeriksa skor IELTS yang bisa diakses secara daring. Allahush-shomad, skorku…“6,0”. Gagal! Dan mulailah, grup Whatsapp kami riuh. Skor tertinggi kloter kami adalah 7,0 yang diraih oleh 4 orang dosen muda. Supaya mengurangi rasa bersalah sekaligus sebagai upaya excuse-ku, kuulas profil keempat jawara tersebut. Kawan dosen pertama yang memeroleh skor terhormat itu menempuh studi magisternya di University of Birmingham, Inggris Raya dan S1 nya dari UNDIP Semarang, wajar. Kawan dosen kedua, studi magisternya di Jepang dan jenjang S1 nya ditempuh di ITB.  Kawan dosen ketiga adalah lulusan Magister Ekonomi Pembangunan UGM dan sudah pernah bekerja dengan kolega internasional JICA Jepang. Adapun kawan dosen keempat adalah lulusan UNDIP Semarang dengan hobi main game RPG berbahasa Inggris serta gemar pelajaran Bahasa Inggris sejak dari SMA (meskipun jurusannya Ekonomi). Nah, puas sudah diriku membuat “pemaafan” terhadap kelemahanku, yang mana sebenarnya sikap ini tidak baik. Alih-alih belajar dari kekurangan, malah mencari pembenaran atas hasil (atau usaha) yang kurang optimal.   

Bersambung ke bagian 2

(Berikutnya di Bagian 2)

… Grup WA Sing Penting Submit (SPS) tersebut bervisi-misi agar anggotanya terus berjuang dengan Submit proposal dan aplikasi studi demi mendapat beasiswa atau program doctoral di Luar Negeri. Karena prinsip grup ini adalah  “rezeki pasti menemukan jalannya”, maka  tiap anggota grup diwajibkan untuk sebanyak-banyaknya submit proposal studi dan aplikasi di setiap peluang beasiswa luar negeri, entah di Asia, Afrika, Australia, atau Eropa tanpa pandang negara; asal bukan Antartika.